Welcome To Blog Sunan Drajat

visitors

Peziarah di Makam Sunan Drajat Membludak Saat Ramadan

Selasa, 31 Agustus 2010

Memasuki bulan Ramadan, jumlah peziarah di makam Sunan Drajat, Paciran Lamongan mengalami peningkatan. Para peziarah ini tidak hanya datang dari Kota Soto melainkan juga dari kota-kota di Jatim dan Jateng.

Bagi mereka, ziarah ke makam salah satu wali songo ini bisa memberikan satu kedamaian batin tersendiri.

Menurut juru kunci makam, Sunardi, makam Sunan Drajat tidak pernah sepi apabila memasuki bulan suci Ramadan. "Kalau Ramadan, peziarah lebih memilih berziarah malam hari seusai tarawih,"

Sunardi membandingkan, kalau pada hari biasa hanya ada 5 pengunjung atau 5 peziarah, maka pada bulan ramadan peziarah bisa mencapai ratusan orang. "Mereka ini kebanyakan datang baik sendiri-sendiri maupun berombongan," ungkapnya.

Menurut Rustandi, salah seorang peziarah di makam Sunan Drajat, berziarah di bulan ramadan terasa mendatangkan kedamaian tersendiri bagi batinnya. "Bahkan, tak jarang saya di sini hingga menunggu waktu berbuka," jelasnya.

Di sela-sela menunggu buka tersebut, lanjut Rustandi, para peziarah biasanya memanjatkan doa dan mengenang kembali jasa-jasa sang sunan dalam menyebarkan agama Islam sambil membaca Al Quran.

Layaknya makam para raja, makam Sunan Drajat juga terletak di dataran tinggi. Kompleks makam Sunan Drajat terletak di Desa Drajat, Kecamatan Paciran Lamongan. Di pemakaman seluas 4 Hektar ini dimakamkan juga sejumlah santri dan kerabat Sunan.

Di pemakaman ini pula, tertera tulisan dalam bahasa Jawa yang selama ini terkenal sebagai dawuh sunan Drajat. Tulisan ini memiliki makna, berikan tongkat kepada orang buta, berikan makan kepada yang kelaparan, berikan pakaian kepada yang telanjang dan berikan payung kepada yang kehujanan

BIOGRAFI SUNAN DRAJAT

Senin, 30 Agustus 2010


Image



Semasa muda ia dikenal sebagai Raden Qasim, Qosim, atawa Kasim. Masih banyak nama lain yang disandangnya di berbagai naskah kuno. Misalnya Sunan Mahmud, Sunan Mayang Madu, Sunan Muryapada, Raden Imam, Maulana Hasyim, Syekh Masakeh, Pangeran Syarifuddin, Pangeran Kadrajat, dan Masaikh Munat. Dia adalah putra Sunan Ampel dari perkawinan dengan Nyi Ageng Manila, alias Dewi Condrowati. Empat putra Sunan Ampel lainnya adalah Sunan Bonang, Siti Muntosiyah, yang dinikahi Sunan Giri, Nyi Ageng Maloka, yang diperistri Raden Patah, dan seorang putri yang disunting Sunan Kalijaga. Akan halnya Sunan Drajat sendiri, tak banyak naskah yang mengungkapkan jejaknya.



Ada diceritakan, Raden Qasim menghabiskan masa kanak dan remajanya di kampung halamannya di Ampeldenta, Surabaya. Setelah dewasa, ia diperintahkan ayahnya, Sunan Ampel, untuk berdakwah di pesisir barat Gresik. Perjalanan ke Gresik ini merangkumkan sebuah cerita, yang kelak berkembang menjadi legenda.

Syahdan, berlayarlah Raden Qasim dari Surabaya, dengan menumpang biduk nelayan. Di tengah perjalanan, perahunya terseret badai, dan pecah dihantam ombak di daerah Lamongan, sebelah barat Gresik. Raden Qasim selamat dengan berpegangan pada dayung perahu. Kemudian, ia ditolong ikan cucut dan ikan talang –ada juga yang menyebut ikan cakalang.

Dengan menunggang kedua ikan itu, Raden Qasim berhasil mendarat di sebuah tempat yang kemudian dikenal sebagai Kampung Jelak, Banjarwati. Menurut tarikh, persitiwa ini terjadi pada sekitar 1485 Masehi. Di sana, Raden Qasim disambut baik oleh tetua kampung bernama Mbah Mayang Madu dan Mbah Banjar.

Konon, kedua tokoh itu sudah diislamkan oleh pendakwah asal Surabaya, yang juga terdampar di sana beberapa tahun sebelumnya. Raden Qasim kemudian menetap di Jelak, dan menikah dengan Kemuning, putri Mbah Mayang Madu. Di Jelak, Raden Qasim mendirikan sebuah surau, dan akhirnya menjadi pesantren tempat mengaji ratusan penduduk.

Jelak, yang semula cuma dusun kecil dan terpencil, lambat laun berkembang menjadi kampung besar yang ramai. Namanya berubah menjadi Banjaranyar. Selang tiga tahun, Raden Qasim pindah ke selatan, sekitar satu kilometer dari Jelak, ke tempat yang lebih tinggi dan terbebas dari banjir pada musim hujan. Tempat itu dinamai Desa Drajat.

Namun, Raden Qasim, yang mulai dipanggil Sunan Drajat oleh para pengikutnya, masih menganggap tempat itu belum strategis sebagai pusat dakwah Islam. Sunan lantas diberi izin oleh Sultan Demak, penguasa Lamongan kala itu, untuk membuka lahan baru di daerah perbukitan di selatan. Lahan berupa hutan belantara itu dikenal penduduk sebagai daerah angker.

Menurut sahibul kisah, banyak makhluk halus yang marah akibat pembukaan lahan itu. Mereka meneror penduduk pada malam hari, dan menyebarkan penyakit. Namun, berkat kesaktiannya, Sunan Drajat mampu mengatasi. Setelah pembukaan lahan rampung, Sunan Drajat bersama para pengikutnya membangun permukiman baru, seluas sekitar sembilan hektare.

Atas petunjuk Sunan Giri, lewat mimpi, Sunan Drajat menempati sisi perbukitan selatan, yang kini menjadi kompleks pemakaman, dan dinamai Ndalem Duwur. Sunan mendirikan masjid agak jauh di barat tempat tinggalnya. Masjid itulah yang menjadi tempat berdakwah menyampaikan ajaran Islam kepada penduduk.

Sunan menghabiskan sisa hidupnya di Ndalem Duwur, hingga wafat pada 1522. Di tempat itu kini dibangun sebuah museum tempat menyimpan barang-barang peninggalan Sunan Drajat –termasuk dayung perahu yang dulu pernah menyelamatkannya. Sedangkan lahan bekas tempat tinggal Sunan kini dibiarkan kosong, dan dikeramatkan.

Sunan Drajat terkenal akan kearifan dan kedermawanannya. Ia menurunkan kepada para pengikutnya kaidah tak saling menyakiti, baik melalui perkataan maupun perbuatan. ”Bapang den simpangi, ana catur mungkur,” demikian petuahnya. Maksudnya: jangan mendengarkan pembicaraan yang menjelek-jelekkan orang lain, apalagi melakukan perbuatan itu.

Sunan memperkenalkan Islam melalui konsep dakwah bil-hikmah, dengan cara-cara bijak, tanpa memaksa. Dalam menyampaikan ajarannya, Sunan menempuh lima cara. Pertama, lewat pengajian secara langsung di masjid atau langgar. Kedua, melalui penyelenggaraan pendidikan di pesantren. Selanjutnya, memberi fatwa atau petuah dalam menyelesaikan suatu masalah.

Cara keempat, melalui kesenian tradisional. Sunan Drajat kerap berdakwah lewat tembang pangkur dengan iringan gending. Terakhir, ia juga menyampaikan ajaran agama melalui ritual adat tradisional, sepanjang tidak bertentangan dengan ajaran Islam.

Empat pokok ajaran Sunan Drajat adalah: Paring teken marang kang kalunyon lan wuta; paring pangan marang kang kaliren; paring sandang marang kang kawudan; paring payung kang kodanan. Artinya: berikan tongkat kepada orang buta; berikan makan kepada yang kelaparan; berikan pakaian kepada yang telanjang; dan berikan payung kepada yang kehujanan.

Sunan Drajat sangat memperhatikan masyarakatnya. Ia kerap berjalan mengitari perkampungan pada malam hari. Penduduk merasa aman dan terlindungi dari gangguan makhluk halus yang, konon, merajalela selama dan setelah pembukaan hutan. Usai salat asar, Sunan juga berkeliling kampung sambil berzikir, mengingatkan penduduk untuk melaksanakan salat magrib.

”Berhentilah bekerja, jangan lupa salat,” katanya dengan nada membujuk. Ia selalu menelateni warga yang sakit, dengan mengobatinya menggunakan ramuan tradisional, dan doa. Sebagaimana para wali yang lain, Sunan Drajat terkenal dengan kesaktiannya. Sumur Lengsanga di kawasan Sumenggah, misalnya, diciptakan Sunan ketika ia merasa kelelahan dalam suatu perjalanan.

Ketika itu, Sunan meminta pengikutnya mencabut wilus, sejenis umbi hutan. Ketika Sunan kehausan, ia berdoa. Maka, dari sembilan lubang bekas umbi itu memancar air bening –yang kemudian menjadi sumur abadi. Dalam beberapa naskah, Sunan Drajat disebut-sebut menikahi tiga perempuan. Setelah menikah dengan Kemuning, ketika menetap di Desa Drajat, Sunan mengawini Retnayu Condrosekar, putri Adipati Kediri, Raden Suryadilaga.

Peristiwa itu diperkirakan terjadi pada 1465 Masehi. Menurut Babad Tjerbon, istri pertama Sunan Drajat adalah Dewi Sufiyah, putri Sunan Gunung Jati. Alkisah, sebelum sampai di Lamongan, Raden Qasim sempat dikirim ayahnya berguru mengaji kepada Sunan Gunung Jati. Padahal, Syarif Hidayatullah itu bekas murid Sunan Ampel.

Di kalangan ulama di Pulau Jawa, bahkan hingga kini, memang ada tradisi ‘’saling memuridkan”. Dalam Babad Tjerbon diceritakan, setelah menikahi Dewi Sufiyah, Raden Qasim tinggal di Kadrajat. Ia pun biasa dipanggil dengan sebutan Pangeran Kadrajat, atau Pangeran Drajat. Ada juga yang menyebutnya Syekh Syarifuddin.

Bekas padepokan Pangeran Drajat kini menjadi kompleks perkuburan, lengkap dengan cungkup makam petilasan, terletak di Kelurahan Drajat, Kecamatan Kesambi. Di sana dibangun sebuah masjid besar yang diberi nama Masjid Nur Drajat. Naskah Badu Wanar dan Naskah Drajat mengisahkan bahwa dari pernikahannya dengan Dewi Sufiyah, Sunan Drajat dikaruniai tiga putra.

Anak tertua bernama Pangeran Rekyana, atau Pangeran Tranggana. Kedua Pangeran Sandi, dan anak ketiga Dewi Wuryan. Ada pula kisah yang menyebutkan bahwa Sunan Drajat pernah menikah dengan Nyai Manten di Cirebon, dan dikaruniai empat putra. Namun, kisah ini agak kabur, tanpa meninggalkan jejak yang meyakinkan.

Tak jelas, apakah Sunan Drajat datang di Jelak setelah berkeluarga atau belum. Namun, kitab Wali Sanga babadipun Para Wali mencatat: ”Duk samana anglaksanani, mangkat sakulawarga….” Sewaktu diperintah Sunan Ampel, Raden Qasim konon berangkat ke Gresik sekeluarga. Jika benar, di mana keluarganya ketika perahu nelayan itu pecah? Para ahli sejarah masih mengais-ngais naskah kuno untuk menjawabnya.

Beliau wafat dan dimakamkan di desa Drajad, kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan Jawa Timur. Tak jauh dari makam beliau telah dibangun Museum yang menyimpan beberapa peninggalan di jaman Wali Sanga. Khususnya peninggalan beliau di bidang kesenian.

Napak Tilas Pesta Kupat Era Sunan Drajat

LAMONGAN, KOMPAS.com- Ratusan warga di pesisir pantai utara Lamongan, khususnya warga Desa Pananjan, Kecamatan Paciran, Kabupaten Lamongan, Minggu (27/9) sekitar pukul 07.00 hingga pukul 09.30 merayakan hari raya ketupat dengan menggelar napak tilas prosesi pesta kupat era Sunan Drajat. Dua tokoh masyarakat mengenakan pakaian serba putih, memerankan tokoh Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur, sementara warga mengenakan pakaian adat tradisional Jawa.
Mereka berjalan beriringan dan berarak-arakan membawa ketupat, tumpeng, dan makanan tradisional menuju Pantai Utara Jawa di sekitar Tanjung Kodok. Arak-arakan warga yang dimulai dari Gua Maharani diiringi musik tanjidor dan rebana yang diperankan lelaki sambil melantunkan shalawat nabi.
Tanjung Kodok dulu merupakan tempat Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur menyambut tamu, rombongan Mbok Rondo Mantingan asal Rembang, Jawa Tengah. Mbok Rondo Mantingan saat itu menyumbang kayu untuk pembangunan masjid Sunan Sendang Duwur.
Pada saat arak-arakan tiba di Tanjung Kodok, secara bersamaan, rombongan dari Rembang tiba dengan mengendarai perahu. Sebelumnya saat hendak memasuki pantai rombongan utusan Mbok Rondo Mantingan dirampok bajak laut. Namun mereka bisa mengalahkan perampok sekaligus dibawa ikut serta menemui Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur.
Rombongan Mbok Rondo Mantingan membawa 99 kayu untuk di sumbangkan ke pembangunan masjid yang sedang dibangun Sunan Sendang Duwur. Sunan Drajat dan Sunan Sendang Duwur menyambut tamunya, Mbok Rondo Mantingan, dengan jamuan hidangan ketupat dan lepet.
Usai doa bersama, mereka pun menyantap ketupat atau bahasa jawa kupat dan lepet. Kupat dan lepet yang dibuat dari anyaman janur (daun kelapa muda) atau dililit melambangkan larangan terhadap sejumlah perbuatan dosa yang dilarang agama, serta anjuran mempererat persaudaraan antar umat Islam.
Direktur Utama Wisata Bahari Lamongan Aris Wibawa menyatakan, semua yang ditampilkan dalam napak tilas ini merupakan simbol penyebaran agama Islam. Tradisi tradisi arak-arakan ketupat sudah berlangsung ratusan tahun, sejak masuknya Islam ke wilayah Lamong an sekitar abad ke-15 yang di bawa Sunan Drajat.
"Makanan kupat punya makna filosofis, Sunan Drajat mengajarkan papat (empat hal) yang harus dijauhi yakni judi, zina, minuman yang diharamkan dan mencuri barang milik orang lain," kata Aris.
Warga Paciran menyebut lebaran ketupat dengan istilah kupatan, berarti mengakui lepat(kesalahan). Melalui tradisi itu, diharapkan warga bisa menghayati makna kebersamaan yang tercermin dalam kekompakan selama mengarak ketupat. Tradisi hari raya ketupat atau kupatan dilaksanakan setelah melaksanakan puasa sunnah selama enam hari di bulan Syawal.
Tradidi kupatan digelar setiap tahun untuk melestarikan tradisi peninggalan nenek moyang yang luhur dan syarat makna. Perayaan kupatan selain sebagai ajang silaturahmi juga merupakan hiburan saat lebaran bagi warga yang pulang kampung dari perantauan.

persada fm 97.20 sunan drajat

Rabu, 25 Agustus 2010


RADIO PERSADA FM adalah sebuah perusahaan yang berkedudukan dan berkantor di Jl. Raden Qosim (Kawasan Sunan Drajat) Paciran Lamongan, Jawa Timur No. Tlp. (0322) 662970, Fax. (0322) 664972 , dengan format siar Radio yang dikembangkan adalah Radio hiburan, informasi, pendidikan dan dakwah, dengan menyajikan musik-musik popular terkini dan penyampaian informasi yang cepat,
actual dengan standart mutu signifikan
menduduki urutan teratas
prioritas pelayanan pada customer, adalah
landasan yang berkiprah di masa
sekarang maupun akan datang.
RADIO PERSADA FM memiliki kelebihan
yang tidak dimiliki media lain, karena Radio
disamping berfungsi sebagai media hiburan,
informasi, pendidikan dan dakwah serta
menampung aspirasi masyarakat, untuk
mendapatkan sarana ini cukup murah, efektif,
serta efisien.

Dengan coverage area yang luas serta didukung
program siar yang ON THE MIND,
mengedepankan budaya dan iklim kerja Radio
yang mengoptimalkan kreatifitas, kooperatif – proaktif
dalam kemasan TEAM WORK yang solid,
RADIO PERSADA FM meliliki pasar strategis
di belahan barat - utara Jawa Timur dan sangat
menguntungkan sebagai sarana promosi product
dari perusahaan dengan tariff iklan disesuaikan situasi
dan kondisi daerah pasar.

berikut adalah susunan program acara di persada fm

 
Support : waQyu Foundation
Copyright © 2011. SUNAN DRAJAT - All Rights Reserved
Template Created by waQyu Foundation Inspired by Sportapolis Shape5.com
Proudly powered by Blogger